PRIBADI YANG MENAWAN
''Jadilah kamu seperti pohon; manusia melemparinya dengan batu, sedang dia
melempari mereka dengan buah,'' kata Hasan Al-Banna.
Pesan pendiri
Ikhwanul Muslimin itu sebenarnya diarahkan untuk para dai agar legowo dalam
menghadapi tindakan menyakitkan dari orang-orang jahil, yakni dengan tidak
membalas keburukan dengan keburukan serupa, seraya berlapang dada, mengharapkan
pahala Allah, dan memohonkan ampunan bagi kaum yang tidak mengerti itu.
Namun, di sisi lain, ujaran itu juga berisi anjuran agar kita rela menolong dan berkorban demi kepentingan orang lain, seperih apa pun kondisi yang kita hadapi. Sebab, ketika arus materialisme, egoisme, dan individualisme telah menyergap banyak sisi kehidupan, orang menjadi begitu pelit untuk menanamkan kebajikan pada sesama.
Berkhidmat dan berkorban pada orang lain menjadi teramat mahal dan sangat langka. Perilaku demikian bukan hanya terhadap orang asing, bahkan pada orang yang dikenal pun sikap serupa kerap terjadi. Jiwa sosial telah redup.
Gotong royong yang merupakan budaya asli bangsa ini seakan telah kehilangan relevansinya. Sebagai gantinya adalah penyorongan kepentingan individu yang berlebihan, nyaris terjadi pada semua lini kehidupan.
Gaya hidup demikian bukan hanya monopoli orang-orang kota, tetapi juga sudah mulai merangsek ke desa-desa. Kerutinan kerja yang melelahkan cukup ampuh dalam menciptakan manusia robot, yang tidak mau menyisihkan waktu sedikit pun untuk bersosialisasi dengan sesama agar bisa meresapi makna kebersamaan dan persaudaraan.
Dalam kondisi seperti itu, orang-orang egois yang menyebalkan meruyak di mana-mana. Namun, sulit sekali menemukan pribadi menawan yang rela berkorban pada sesama dengan tanpa pamrih, semua orang bisa memetik manfaat dan jasa darinya. Oleh karena itu, kehadirannya menjadi pemanis dan penghibur.
Ketiadaannya menjadikan kerinduan orang lain, ia senantiasa dinanti-nantikan, dan kepergiannya selalu dikenang. Inilah pribadi ideal yang pernah disinggung Nabi, ''Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya.'' (al-Jami' as-Sagir).
Jika jemu dan jijik pada orang yang individualis dan tidak mau memberikan manfaat pada sesama, maka dalam konteks inilah kita bisa memahami desakan mahasiswa agar pemimpin kita mundur. Sebab, mungkin tidak banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh rakyat. Selanjutnya, di pundak kita semua tergantung beban untuk mewujudkan pemimpin yang menawan, yang mampu mengemban amanat untuk memberikan rahmat bagi alam.
Namun, di sisi lain, ujaran itu juga berisi anjuran agar kita rela menolong dan berkorban demi kepentingan orang lain, seperih apa pun kondisi yang kita hadapi. Sebab, ketika arus materialisme, egoisme, dan individualisme telah menyergap banyak sisi kehidupan, orang menjadi begitu pelit untuk menanamkan kebajikan pada sesama.
Berkhidmat dan berkorban pada orang lain menjadi teramat mahal dan sangat langka. Perilaku demikian bukan hanya terhadap orang asing, bahkan pada orang yang dikenal pun sikap serupa kerap terjadi. Jiwa sosial telah redup.
Gotong royong yang merupakan budaya asli bangsa ini seakan telah kehilangan relevansinya. Sebagai gantinya adalah penyorongan kepentingan individu yang berlebihan, nyaris terjadi pada semua lini kehidupan.
Gaya hidup demikian bukan hanya monopoli orang-orang kota, tetapi juga sudah mulai merangsek ke desa-desa. Kerutinan kerja yang melelahkan cukup ampuh dalam menciptakan manusia robot, yang tidak mau menyisihkan waktu sedikit pun untuk bersosialisasi dengan sesama agar bisa meresapi makna kebersamaan dan persaudaraan.
Dalam kondisi seperti itu, orang-orang egois yang menyebalkan meruyak di mana-mana. Namun, sulit sekali menemukan pribadi menawan yang rela berkorban pada sesama dengan tanpa pamrih, semua orang bisa memetik manfaat dan jasa darinya. Oleh karena itu, kehadirannya menjadi pemanis dan penghibur.
Ketiadaannya menjadikan kerinduan orang lain, ia senantiasa dinanti-nantikan, dan kepergiannya selalu dikenang. Inilah pribadi ideal yang pernah disinggung Nabi, ''Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya.'' (al-Jami' as-Sagir).
Jika jemu dan jijik pada orang yang individualis dan tidak mau memberikan manfaat pada sesama, maka dalam konteks inilah kita bisa memahami desakan mahasiswa agar pemimpin kita mundur. Sebab, mungkin tidak banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh rakyat. Selanjutnya, di pundak kita semua tergantung beban untuk mewujudkan pemimpin yang menawan, yang mampu mengemban amanat untuk memberikan rahmat bagi alam.
Disadur Dari Republika Online
Wasslam, Purnama Sari, Cirebon, Indonesia
http://purnamasarry1.blogspot.com
http://aminazra.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar